Yanisa Yuni Alfiati

Guru SMA Negeri 1 Padamara Mapel Biologi Unnes ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menjemput Fajar-8

Menjemput Fajar-8

Proyek bangunan kang Madi sudah dua minggu ini selesai. Ali tak ada pekerjaan lain selain njaring ikan. Sementara kebutuhan makin hari makin banyak. Dia sudah berusaha mencari pekerjaan pada tetangganya yang lain. Namun tidak ada satupun Informasi tentang lowongan pekerjaan.

"Ali mau ikut kang Sutar saja mak ke Jakarta. Ali mau kerja di sana. Biar dapat uang banyak." Jelas Ali. Emaknya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Jauh dilubuk hatinya, Emak merasa kasihan melihat penderitaan Ali. Sejak kecil Ali belum pernah merasakan bahagia menjadi seorang anak. Ali harus menanggung beban keluarga, sejak kepergian bapaknya. Bahkan bisa dikatakan Ali adalah tulang punggung keluarga yang telah mencukupi kebutuhan keluarga meski usianya masih sangat muda.

Membiarkan Ali pergi ke Jakarta rasanya tak tega. Usianya baru 14 tahun. Masih terlalu kecil untuknya mengais rejeki di negeri orang. Kerasnya ibu kota membuat batin Emaknya was-was. Namun tak bisa dimungkiri jika Emak memang butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menahan Ali tetap di kampung tak akan memberi jalan keluar dari permasalahan keuangan mereka. "Emak tidak usah khawatir. Ali bisa jaga diri. Ali sudah bukan anak-anak lagi. Doakan Ali punya banyak rejeki, sehingga bisa ngirimin Emak untuk kebutuhan Emak di kampung." Ucap Ali. "Emak gak bisa ngomong apa-apa lagi Li. Kamu sudah besar sekarang. Sudah bisa memutuskan apa yang menurut kamu baik. Emak percaya kamu bisa jaga diri. Dan Emak juga percaya kalau kamu akan memikirkan Emak dan adikmu di kampung. "Iya Mak. Mulai besok Ali akan njaring ikan sampai pagi. Biar duitnya cepat kumpul wat biaya Ali ke Jakarta." "Memangnya kamu akan berangkat kapan Li? " Tanya Emak sambil menatap Ali yang tampak bersedih karena harus meninggalkan Emak dan adiknya. "Minggu depan Mak." Ucap Ali lirih. "Memangnya kamu mau kerja apa di Jakarta Li?" Tanya Emak penasaran. "Kata kang Sutar sih ngasih makan burung Mak." Jelas Ali. "Ooohh..." Emaknya langsung terdiam. entah apa yang dipikirkan. Ada raut kesedihan setelah mendengar niat Ali untuk pergi merantau ke Jakarta.

Ali sudah bersiap untuk berangkat ke Jakarta. Di usianya yang baru masuk 14 tahun, Ali memulai perjuangannya hidup di tanah rantau mengais rejeki. Tak banyak baju yang dia bawa karena memang Ali tak punya banyak baju. Hanya 3 atasan, 2 kaos oblong, 3 celana kolor dan satu celana panjang. Setelah mencium tangan Emaknya, dan memeluk adiknya, Ali langsung pergi bersama Kang Sutar. Ada tangis yang Ali dan Emaknya sembunyikan. Seolah keduanya tak ingin kesedihan yang dirasakan atas perpisahan ini.

Babak baru kehidupan Ali di mulai. Sesampainya di Jakarta, kang Sutar langsung mengantarkan Ali ke rumah juragan burung yang akan mempekerjakannya. Betapa kagetnya Ali saat melihat jumlah burung yang ada di sana. Ada ratusan burung yang bertengger di kandang sambil bernyanyi sahut-sahutan memyambut datangnya sang penjemput fajar. Mendengar hiruk pikuk burung-burung tadi, Ali pun memberikan senyumnya yang ramah pada burung-burung yang ada di sana. Entahlah apa maksud Ali memberikan senyumnya meski dia tahu kalau burung-burung itu tak akan paham arti dari senyumannya itu. "Mari masuk kang." Kalimat yang terdengar pertama dari bibir juragan barunya. "Iya pak. Ini Ali yang akan kerja disini." Kang Sutar memperkenalkan dirinya. Ali segera mendekat untuk menyalami juragannya itu. "Oh ini. Mari sini - sini." Juragan Ali yang bernama pak Budi ini begitu ramah menyambutnya. Hati Ali jadi adem. Kekhawatiran yang sempat muncul di benaknya mendapat juragan galak hilang sudah. Sambil menikmati hidangan yang disediakan oleh istri pak Budi, Ali mendapatkan penjelasan tentang apa yang menjadi tugasnya mulai besok pagi. Setelah jelas semuanya, Ali pun langsung diantarkan menuju ke kamarnya yang ada di ruang khusus dekat kandang burung. Sementara kang Sutar langsung pamitan menuju ke tempat kerjanya. Kang Sutar sudah berjanji padanya kalau sebulan sekali akan main ke sini untuk menjenguk Ali.

Ali segera memasuki kamarnya. Rasa lelah setelah semalaman melakukan perjalanan dari kampungnya, membuatnya ingin segera merebahkan tubuhnya. Tak ada fasilitas apapun kecuali kasur tipis yang tergeletak di lantai. Sprei yang kelihatan usang menghiasi kasur itu hingga tampak rapi. Ali langsung merebahkan tubuhnya untuk mengendorkan ototnya yang tegang. Entah kenapa tiba-tiba terbayang wajah Emak dan Ridwan adiknya. Air mata mulai terkumpul di sudut mata Ali. Berpisah dengan keduanya adalah hal berat yang terpaksa dilakukannya. Rasa kangen yang muncul dihatinya membuat Ali tak bisa membendung air matanya. Sang penjemput fajar seorang diri di perantauan, menangis seorang diri di dalam kamar sepi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Duuuh..., nelongsonya Ali. Semoga Pak Budiman bisa memenuhi harapan Ali. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah, Bunda.

18 Mar
Balas

Oh iya, Bunda....., maaf, itu lho..."dimungkiri" bukan "dipungkiri". Ntar kebaca sama alien ea ea...hihihi.

18 Mar

siap.... langsung edit bun... sukses selalu bunda dan barakallah

18 Mar



search

New Post